FKOGK
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Forum Komunitas Online Gunungkidul
 
IndeksJual BeliPortal FKOGKLatest imagesPencarianPendaftaranLogin

 

 WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN

Go down 
PengirimMessage
sacho_eka
Pengawas
sacho_eka


Lokasi : tangerang- banten
Reputation : 36
Join date : 03.11.08

WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN Empty
PostSubyek: WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN   WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN Icon_minitimeMon Jun 13, 2011 1:42 pm

Cukup pahit memang rekam sejarah pendidikan di negeri ini. Peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan secara umum terus melorot jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Parameter kualitas sumber daya manusia Indonesia yang merefleksikan kualitas pendidikan kita setidaknya diwakili oleh Human Development Indeks yang dikeluarkan oleh UNDP.


Dalam laporan tersebut diketahui bahwa sejak tahun 1997 peringkat HDI Indonesia terus mengalami penurunan. Tahun 1997, HDI Indonesia berada pada peringkat ke-99. Pada tahun 2002, HDI Indonesia berada pada posisi ke-102, kemudian pada tahun 2004 melorot ke posisi ke-111 dari sekitar 177 negara di dunia.


Bahkan berdasarkan laporan dari UNESCO dan World Bank dalam Indonesia Education Sector Review, Indonesia adalah negara dengan pembiayaan pendidikan yang paling rendah. Tak heran kalau daya saing bangsa ini juga begitu rendah. Dari 47 negara Asia yang diteliti Indonesia menempati urutan ke-45 dalam hal daya saing. Dengan kata lain setidaknya masih peringkat ke-3 (dari bawah).


Padahal kalau kita menengok anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Indonesia seharusnya menganggarkan 20% dari APBN untuk membiayai pendidikan. Tetapi kenyatan di lapangan anggaran pendidikan Indonesia tidak pernah lebih dari 10%. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia kita pasti akan merasa kerdil karena mereka menganggarkan 45% dari APBN untuk membiayai pendidikan mereka.


Diskursus anggaran pendidikan ini tak lepas dari alokasi yang timpang dari APBN Indonesia. Porsi pembiayaan untuk pembayaran utang Indonesia mencapai 25% APBN. Alokasi anggaran inilah yang merampas hak-hak pendidikan Indonesia. Hal inilah yang mendorong tumbuhnya model sistem pendidikan yang kapilatistis di Indonesia.


Di titik inilah para mafia pendidikan mulai masuk dan bermain. Para mafia ini dapat bermain karena memang pemerintah juga membutuhkan tenaga mereka sebagai legitimasi dari rendahnya anggaran pendidikan nasional. Para mafia ini umumnya mempropagandakan kebaikan dari nilai-nilai liberalisasi dan privatisasi termasuk di dalamnya adalah kapitalisasi pendidikan. Dengan kedok peningkatan kualitas karena adanya kompetisi, para mafia ini mempromosikan pembebanan kenaikan biaya pendidikan kepada masyarakat. Alih-alih sebagai upaya untuk menutupi alasan pemerintah karena anggaran pendidikan yang tidak memadai. Sebuah perisai dari kemampuan pembiayaan anggaran pendidikan yang impoten!


Dalam skala yang lebih luas para mafia ini juga menjalin kerja sama dengan jaringan neoliberal global. Tanggal 31 Oktober 1997, ketika LoI pertama ditandatangani oleh Indonesia yang disaksikan oleh pejabat IMF di Pasifik Michael Camdesus dengan angkuhnya, menandai dimulainya gerakan neoliberal. Gerakan ini secara lembut mempropagandakan deregulasi ekonomi, liberalisasi dan privatisasi. LoI demi LoI yang ditandatangani merupakan payung hukum internasional yang memaksakan struktur hukum nasional untuk tunduk dan patuh terhadap nafsu neoliberalisme.


Maka tak heran kalau kemudian pendidikan di Indonesia pun ’diperkosa’ ke dalam sistem pendidikan yang liberal dan kapitalistis. Sesuatu yang mengherankan adalah para mafia itu merasa bangga melakukan pemerkosaan itu yang dicitrakan dapat menyelamatkan nyawa pendidikan di Indonesia.


Prof. Nelson Tansu, PhD adalah seorang profesor nanoteknologi dari Lehigh University kelahiran Medan yang menyelesaikan program PhD di University of Wisconsin dalam usia 25 tahun. Beliau pernah mengatakan, “We, as Indonesian, have to have the highest standard with respect to our attitudes and views on education…” Nasihat beliau ini terasa mewakili keinginan kita untuk berbicara kepada para mafia itu. Apakah para mafia itu mau mendengarnya? Semoga.

DARI :http://antoneka.wordpress.com
Kembali Ke Atas Go down
http://kiossticker.com
sacho_eka
Pengawas
sacho_eka


Lokasi : tangerang- banten
Reputation : 36
Join date : 03.11.08

WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN Empty
PostSubyek: Re: WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN   WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN Icon_minitimeMon Jun 13, 2011 1:46 pm

Cerita Guru dan “Mafia Pendidikan”

Seorang kolega bercerita tentang nasib istrinya yang seorang guru di sebuah SMP Negeri di Surabaya yang dipersulit ketika sedang mengurus sertifikasi guru dan kenaikan pangkat. Dia mengatakan bahwab sudah menjadi rahasia umum di kalangan para guru, jika mereka hendak mengikuti program sertifikasi guru dan atau naik pangkat harus “rela” dipaksa mengikuti “aturan” yang ditafisiri secara sepihak oleh para oknum “mafia” di lingkungan Kemendiknas (Kementrian Pendidikan Nasional) atau Kemenag (Kementrian Agama). Penafsiran itu konon terkait dengan persyaratan administrasi yang rumit yang terkadang mengharuskan seorang guru untuk menyertakan laporan PTK (penelitian tindakan klas) sesuai vesi sang oknum, yang ujung-ujungnya adalah uang “setoran”.

Modus ini memang lebih aman buat para oknum mafia. Ketika “setoran langsung” sulit dilakukan karena adanya “keberanian” para guru untuk menolak, para oknum “mafia pangkat” di dua kementrian tersebut mulai mencari cara lain, yakni mewajibkan adanya PTK (penelitian Tindakan Kelas) bagi calon guru yang akan mengajukan kenaikan pangkat dengan standar yang telah ditentukan sang “mafia”. Bahkan konon guru yang sudah memiliki tulisan yang dipublikasikan di jurnal belum bisa diajukan kenaikan pangkatnya kalau tidak disertai PTK. Padahal nilai angka kredit untuk tulisan (hasil penelitian ) yang dimuat di Jurnal pendidikan nilainya jauh lebih tinggi dari pada hasil PTK. Masih menurut sang kolega, konon guru yang “terpaksa” melakukan PTK disarankan oleh oknum mafia pendidikan tersebut untuk menghubungi “oknum” penyedia jasa pembuat PTK. Maka Inilah ironi dunia pendidikan kita, para guru yang tak memiliki “kesabaran” untuk membuat PTK sendiri konon harus menyediakan dana tak kurang dari 4 juta rupiah untuk sebuah laporan PTK “palsu” dari penyedia jasa tersebut. Padahal pemalsuan dokumen akademik merupakan sebuah pelanggaran berat dalam dunia pendidikan. Tetapi nampaknya tidak dipahami oleh para “mafia pendidikan” yang hanya berpikir mencari keuntungan pribadi, dan tidak melihat dampaknya pada para guru dan anak didik mereka.

Tentu kita tidak dapat secara langsung menyalahkan para guru yang kurang “sabar”, sebab kita telah sama-sama mengetahui bagaimana sampai sekarang ini nasib guru tak banyak berubah. Meskipun telah ada program sertifikasi, tetapi hal itu masih dinikmati oleh sebagian kecil guru terutama mereka yang sudah berpendidikan S1. Ironisnya para guru seringkali “dicemburui” secara berlebihan oleh para staf administrasi di lingkungan dua kementrian tersebut, karena dianggap beban kerja mereka terlalu ringan tetapi mendapatkan tunjangan profesi. Hal itulah yang dijadikan alasan “pembenar” para oknum mafia dalam melakukan “pemerasan” terhadap para guru.

Tak dapat disangkal jumlah guru yang sangat besar menjadikan mereka memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi ataupun politik para “oknum” mafia. Karena itu pula alasan kecemburuan tersebut tak sepenuhnya benar, karena faktanya menunjukkan meskipun kesejahteraan para staf juga dinaikkan tetap saja para guru dijadikan “sapi perahan” para oknum tersebut. Nampaknya tradisi “mafia” sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh sistem birokrasi di negeri ini. Maka sangat wajar jika dia hadir di semua sektor kehidupan masyarakat, termasuk dunia pendidikan kita.

Tidak berhenti di situ nasib Guru juga “dipermaikan” dalam program sertifikasi dan kegiatan yang menyertainya. Tak jarang mereka yang tak lolos dan harus mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), hanya dijadikan obyek untuk sekedar dijadikan pelengkap laporan pertanggungjawaban panitia yang digelontor dengan anggaran yang berjumlah trilyunan tersebut. Bahkan konon saking banyaknya guru yang ikut program tersebut, banyak dosen (yang berlatar kependidikan) yang “kaya mendadak”, karena lebih suka menjadi asesor portofolio guru dan fasilitator di PLPG (dengan honor yang besar) dari pada mengajar klas regular di kampus mereka. Sehingga tak jarang para dosen tersebut “menelantarkan” mahasiswanya dengan asisten dosen yang tak punya kualifikasi mengajar di perguruan tinggi.

Bahkan “bau tak sedap” juga muncul dalam kasuk-kusuk para oknum mafia pendidikan, mereka meminta untuk “mempersulit” kelulusan para guru yang ikut program sertifikasi tersebut, agar pemerintah tetap menganggarkan program tersebut setiap tahunnya. Dengan demikian mereka tetap dapat menikmati “tambahan” penghasilan dengan cara “mengerjai” para guru. Tak sedikit guru yang frustasi menjalani proses ini, karenanya tak perlu heran jika para guru kemudian mejadi terseret dalam permainan para mafia pendidikan yang pada akhirnya mengorbankan para murid yang merupakan generasi bangsa ini.

Cerita ini masih terlalu pendek untuk menjabarkan kekusutan dunia pendidikan di Negara kita, namun cerita ini paling tidak bisa menjadi tempat melabuhkan kekesalan para guru yang “teraniaya” oleh para “mafia pendidikan” yang memanfaatkan mereka.

DARI : http://edukasi.kompasiana.com
Kembali Ke Atas Go down
http://kiossticker.com
 
WASPADAI MAFIA PENDIDIKAN
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Pendidikan murah atau pendidikan berkualitas??
» waspadai surat sakti
» Mafia Peradilan Terkuak Di Sidang MK
» Orientasi pendidikan?
» Komputer? Waspadai Repetitive Strain Injuries (RSI)

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
FKOGK :: IT GADGET & EDU CORNER :: Sekolah & Pendidikan-
Navigasi: