Cerita Guru dan “Mafia Pendidikan”
Seorang kolega bercerita tentang nasib istrinya yang seorang guru di sebuah SMP Negeri di Surabaya yang dipersulit ketika sedang mengurus sertifikasi guru dan kenaikan pangkat. Dia mengatakan bahwab sudah menjadi rahasia umum di kalangan para guru, jika mereka hendak mengikuti program sertifikasi guru dan atau naik pangkat harus “rela” dipaksa mengikuti “aturan” yang ditafisiri secara sepihak oleh para oknum “mafia” di lingkungan Kemendiknas (Kementrian Pendidikan Nasional) atau Kemenag (Kementrian Agama). Penafsiran itu konon terkait dengan persyaratan administrasi yang rumit yang terkadang mengharuskan seorang guru untuk menyertakan laporan PTK (penelitian tindakan klas) sesuai vesi sang oknum, yang ujung-ujungnya adalah uang “setoran”.
Modus ini memang lebih aman buat para oknum mafia. Ketika “setoran langsung” sulit dilakukan karena adanya “keberanian” para guru untuk menolak, para oknum “mafia pangkat” di dua kementrian tersebut mulai mencari cara lain, yakni mewajibkan adanya PTK (penelitian Tindakan Kelas) bagi calon guru yang akan mengajukan kenaikan pangkat dengan standar yang telah ditentukan sang “mafia”. Bahkan konon guru yang sudah memiliki tulisan yang dipublikasikan di jurnal belum bisa diajukan kenaikan pangkatnya kalau tidak disertai PTK. Padahal nilai angka kredit untuk tulisan (hasil penelitian ) yang dimuat di Jurnal pendidikan nilainya jauh lebih tinggi dari pada hasil PTK. Masih menurut sang kolega, konon guru yang “terpaksa” melakukan PTK disarankan oleh oknum mafia pendidikan tersebut untuk menghubungi “oknum” penyedia jasa pembuat PTK. Maka Inilah ironi dunia pendidikan kita, para guru yang tak memiliki “kesabaran” untuk membuat PTK sendiri konon harus menyediakan dana tak kurang dari 4 juta rupiah untuk sebuah laporan PTK “palsu” dari penyedia jasa tersebut. Padahal pemalsuan dokumen akademik merupakan sebuah pelanggaran berat dalam dunia pendidikan. Tetapi nampaknya tidak dipahami oleh para “mafia pendidikan” yang hanya berpikir mencari keuntungan pribadi, dan tidak melihat dampaknya pada para guru dan anak didik mereka.
Tentu kita tidak dapat secara langsung menyalahkan para guru yang kurang “sabar”, sebab kita telah sama-sama mengetahui bagaimana sampai sekarang ini nasib guru tak banyak berubah. Meskipun telah ada program sertifikasi, tetapi hal itu masih dinikmati oleh sebagian kecil guru terutama mereka yang sudah berpendidikan S1. Ironisnya para guru seringkali “dicemburui” secara berlebihan oleh para staf administrasi di lingkungan dua kementrian tersebut, karena dianggap beban kerja mereka terlalu ringan tetapi mendapatkan tunjangan profesi. Hal itulah yang dijadikan alasan “pembenar” para oknum mafia dalam melakukan “pemerasan” terhadap para guru.
Tak dapat disangkal jumlah guru yang sangat besar menjadikan mereka memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi ataupun politik para “oknum” mafia. Karena itu pula alasan kecemburuan tersebut tak sepenuhnya benar, karena faktanya menunjukkan meskipun kesejahteraan para staf juga dinaikkan tetap saja para guru dijadikan “sapi perahan” para oknum tersebut. Nampaknya tradisi “mafia” sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh sistem birokrasi di negeri ini. Maka sangat wajar jika dia hadir di semua sektor kehidupan masyarakat, termasuk dunia pendidikan kita.
Tidak berhenti di situ nasib Guru juga “dipermaikan” dalam program sertifikasi dan kegiatan yang menyertainya. Tak jarang mereka yang tak lolos dan harus mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), hanya dijadikan obyek untuk sekedar dijadikan pelengkap laporan pertanggungjawaban panitia yang digelontor dengan anggaran yang berjumlah trilyunan tersebut. Bahkan konon saking banyaknya guru yang ikut program tersebut, banyak dosen (yang berlatar kependidikan) yang “kaya mendadak”, karena lebih suka menjadi asesor portofolio guru dan fasilitator di PLPG (dengan honor yang besar) dari pada mengajar klas regular di kampus mereka. Sehingga tak jarang para dosen tersebut “menelantarkan” mahasiswanya dengan asisten dosen yang tak punya kualifikasi mengajar di perguruan tinggi.
Bahkan “bau tak sedap” juga muncul dalam kasuk-kusuk para oknum mafia pendidikan, mereka meminta untuk “mempersulit” kelulusan para guru yang ikut program sertifikasi tersebut, agar pemerintah tetap menganggarkan program tersebut setiap tahunnya. Dengan demikian mereka tetap dapat menikmati “tambahan” penghasilan dengan cara “mengerjai” para guru. Tak sedikit guru yang frustasi menjalani proses ini, karenanya tak perlu heran jika para guru kemudian mejadi terseret dalam permainan para mafia pendidikan yang pada akhirnya mengorbankan para murid yang merupakan generasi bangsa ini.
Cerita ini masih terlalu pendek untuk menjabarkan kekusutan dunia pendidikan di Negara kita, namun cerita ini paling tidak bisa menjadi tempat melabuhkan kekesalan para guru yang “teraniaya” oleh para “mafia pendidikan” yang memanfaatkan mereka.
DARI : http://edukasi.kompasiana.com