FKOGK
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Forum Komunitas Online Gunungkidul
 
IndeksJual BeliPortal FKOGKLatest imagesPencarianPendaftaranLogin

 

 Dari Tadah Hujan ke Irigasi Suplementer

Go down 
PengirimMessage
Wonosingo Ngali Kidul
Pengawas
Wonosingo Ngali Kidul


Lokasi : Gunungkidul
Reputation : 20
Join date : 06.05.08

Dari Tadah Hujan ke Irigasi Suplementer Empty
PostSubyek: Dari Tadah Hujan ke Irigasi Suplementer   Dari Tadah Hujan ke Irigasi Suplementer Icon_minitimeFri Jul 11, 2008 6:03 pm

Dari Tadah Hujan ke Irigasi Suplementer Gnkdl2Oleh:Gatot Irianto PhD

Sujiwo, Petani Pelopor Lahan Kering

Sujiwo
adalah seorang pensiunan pegawai Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi Daerah Tingkat I Yogyakarta yang memilih kembali bertani ke
tanah kelahirannya Desa Bunder, Kabupaten Gunung Kidul setelah purna
bakti. Sujiwo tergolong keluarga terpandang dibandingkan masyarakat
lainnya di Desa Bunder karena:


(1) statusnya pensiunan pegawai negeri dengan
penghasilan tetap, sehingga sangat terhormat bagi masyarakat agraris
(2) anak-anak dan menantunya mempunyai posisi sosial relatif baik,
sebagai pegawai negeri, polisi dan guru, sehingga keluarga Sujiwo
menjadi teladan bagi komunitasnya (3) praktek pertanian Sujiwo relatif
lebih baik dibandingkan dengan komunitasnya. Selain sebagai pensiunan
pegawai negeri Sujiwo juga mempunyai lahan sawah maupun lahan kering
relatif lebih luas dibandingkan petani lainnya. Kedermawanan Sujiwo
terhadap komunitasnya dan posisi hubungan darah Sujiwo yang dituakan di
komunitasnya menjadikan Sujiwo seorang tokoh dan pemimpin yang disegani
dan dihormati. Rumahnya yang relatif besar dengan usaha tani yang
diversified, mulai tanaman pangan, ternak, tanaman hortikultura semusim
dan tahunan serta tanaman jati menunjukkan bahwa Sujiwo memang benar
benar petani sukses dalam menekuni profesinya sebagai petani. Sumber
utama pendapatan sebagian besar masyarakat desa Bunder berasal dari:
(1) pertanian lahan kering dengan komoditas utama singkong (2) beternak
kambing maupun sapi (3) menanam tanaman tahunan dan (4) merantau ke
kota saat selesai mengolah tanah (5) sebagian kecil berdagang.
Kehidupan mereka relatif mandiri dan sangat sedikit tergantung terhadap
bantuan pemerintah. Berdasarkan pengamatan lapangan, meskipun pertanian
lahan kering hasilnya terbatas, namun sebagian besar komunitas Sujiwo
memilih bertani dengan penghasilan sangat terbatas. Mereka berusaha
menambah pendapatan dengan menanam jati dan akasia serta tanaman
hortikultura tahunan seperti: rambutan, mangga, nangka. Hasilnya masih
jauh dari yang diharapkan, karena untuk dapat menghasilkan dengan baik,
maka sebagian besar tanaman dan ternak memerlukan air yang memadai.
Jangankan untuk tanaman dan ternak, untuk memenuhi kebutuhan minum saja
sangat sulit pada musim kemarau.
Satu
hal yang patut mendapatkan apresiasi adalah semangat juang Sujiwo dan
komunitasnya untuk mengatasi persoalan bertaninya. Pemerintah dengan
segala keterbatasannya juga berusaha membantu meningkatkan kemampuan
penyediaan air melalui berbagai proyek seperti: (1) proyek penghijauan
(2) proyek konservasi tanah dan terasering yang semuanya ditujukan
untuk menekan erosi dan meningkatkan ketersediaan air. Meskipun sudah
menghabiskan tenaga, waktu dan dana sangat besar, ternyata ketersediaan
air terutama pada musim kemarau belum meningkat secara signifikan. Air
yang diharapkan tersedia pada musim kemarau ternyata tidak kunjung
datang.

Keberpihakan dan kepemimpinan Sujiwo dalam pengembangan
lahan kering tercermin melalui berbagai kesempatan. Antara lain pada
saat Sujiwo berinisiatif mengemukakan bahwa petani di wilayah ini
berkeinginan untuk menampung aliran air sungai untuk mengairi lahan
keringnya agar lebih produktif. Sujiwo juga dengan mudah mengumpulkan
dan menggerakkan komunitasnya untuk bertemu membahas program water
harvesting. Sujiwo tetap selalu membicarakan dan mengkomunikasikan
terlebih dahulu dengan komunitasnya meskipun dirinya telah mengambil
inisiatif untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain untuk membendung
sungai dalam rangka menampung aliran sungai pada musim hujan untuk
digunakan pada musim kemarau. Demikian halnya ketika ada pertanyaan
berkaitan dengan water harvesting pada saat pertemuan dengan
komunitasnya, maka Sujiwo lah yang menjelaskan berbagai hal, termasuk
kemitraan antara kelompok taninya dengan Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi serta CIRAD Perancis. Saat diperlukan saluran untuk
mengairi lahan yang terletak di hilir lahannya, Sujiwo dengan lapang
senang hati menyerahkan sebagian lahannya untuk saluran air.
Pembangunan
dam parit akhirnya lebih banyak dibiayai oleh petani, karena mereka
menyediakan tenaga kerja dan sebagian material yang tersedia di lokasi
serta makanan pekerja. Bantuan material yang mereka terima berupa semen
dan pasir, menjadi pendorong dan pemicu Sujiwo dan kelompoknya untuk
memanfaatkan sumber daya manusia dan lahan (tenaga kerja dan lahan
kering yang ada) untuk mengatasi masalah ketersediaan air yang selama
ini mereka hadapi. Apalagi teknologi water harvesting memang sudah
mereka lakukan di rumah-rumah untuk memenuhi kebutuhan air minum
mereka, sehingga secara sosial teknologi ini dapat diterima dan secara
teknis dapat diaplikasikan oleh petani. Partisipasi masyarakat yang
tinggi ini sangat melegakan, karena dengan demikian bangunan untuk
water harvesting yang dikerjakan Sujiwo dan komunitasnya akan menjadi
milik mereka yang sesungguhnya. Berbeda dengan pembangunan fisik yang
selama ini pemerintah lakukan, semua biaya, tenaga kerja dan
pemeliharaan dilakukan pemerintah, sehingga masyarakat merasa tidak
memilikinya dan biaya pemeliharaannya menjadi beban anggaran pemerintah.

Perkenalan
dengan Sujiwo terjadi secara tidak langsung di suatu siang hari yang
terik pada tahun 1999. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
bersama konsultan CIRAD Perancis bernama Bruno Lidon telah memilih
daerah aliran sungai (DAS) Bunder seluas kurang lebih 50 hektar sebagai
tempat memasang alat duga muka air otomatis (automatic water level
recorder/AWLR) untuk memantau fluktuasi air sungai/debit sungai di
lahan kering, baik pada musim hujan maupun kemarau. Konsultan Perancis
ini sangat berbeda dibandingkan kebanyakan warga negara barat yang
mengagungkan teknologi barat. Lidon, demikian dia biasa dipanggil,
justru berpandangan sebaliknya, yaitu bahwa teknologi spesifik
lokasilah yang harus didorong. Pendirian Lidon yang berbeda ini terjadi
karena dia sangat lama bekerja di negara-negara di kawasan kering Gurun
Sahel (Sahelian Country) seperti Senegal, Burkina Faso, yang merupakan
wilayah dengan iklim kering dan ketersediaan air sangat terbatas. Lidon
juga beristrikan perempuan Afrika (berkewarganegaraan Togo) yang sangat
menghargai kearifan lokal dan partisipasi petani dalam menyelesaikan
masalah petani. Keberpihakan terhadap petani ini karena Lidon juga
berasal dari keluarga petani di Paris bagian Selatan dengan luas
pemilikan lahan 600 hektar. Dengan latar belakang ini, Lidon sangat
bersimpati dan berempati terhadap petani kecil yang di Indonesia masih
sangat termarginalkan. Kesederhanaan dan integrasi Lidon terhadap
komunitas petani juga terlihat dalam memilih makanan, dia dengan senang
hati menyantap dengan lahap makanan yang disediakan di rumah Sujiwo
meskipun dengan menu ala kadarnya.

Setelah mengamati batas, luas
dan kondisi daerah tangkapan air (catchment area) desa Bunder yang
kritis, dan menilai persyaratan yang diperlukan untuk pemasangan alat
duga muka air, maka tim memilih lokasi tersebut sebagai lokasi
pengembangan lahan kering. Saat melihat kami berdua datang, mungkin
banyak pertanyaan berkecamuk di dalam benak Sujiwo. Dia mencoba
bertanya ke diri sendiri, untuk keperluan/kepentingan apa dua orang
dari luar wilayah mereka (satu berkulit sawo matang dan seorang
berkulit putih) datang menerobos wilayahnya yang kering dan penuh semak
belukar di siang hari? Beruntung komunikasi dua arah dalam bahasa Jawa
halus dapat terjadi secara alamiah, sehingga pertanyaan, kebekuan dan
kecurigaan antara kami dan Sujiwo langsung mencair. Kami menanyakan
beberapa pertanyaan seperti: bagaimana fluktuasi air sumur pada musim
kemarau dan musim hujan? Air sumur yang ada digunakan untuk apa dan
siapa serta berapa kepala keluarga yang memanfaatkan? Sujiwo menjawab
bahwa air sumur yang terletak di pinggir sungai tersebut merupakan
gantungan hidup masyarakat di dalam DAS Bunder untuk keperluan rumah
tangga. Pada musim kemarau biasanya muka airnya turun drastis,
sebaliknya pada musim hujan muka air sumurnya sangat dangkal.

Lantas
ketika ditanyakan, apakah ada aliran air yang cukup besar pada musim
hujan, dia jawab ya, bahkan dia katakan sangat besar sekali, sehingga
seringkali menyebabkan terjadinya banjir. Ketika ditanyakan mengapa
kelebihan air di musim hujan dibiarkan mengalir dan tidak ditampung
untuk memenuhi kebutuhan air di musim kemarau, maka dia menjawab bahwa
mereka tahu dan keinginan itu sangat besar, tetapi untuk membeli
material mereka tidak mampu. Suatu permohonan tulus dan sangat wajar
dikemukakan saat itu. Pertanyaan mendasar berkaitan dengan penampungan
air, adalah di mana bendungan itu dibuat agar: (a) volume tampung
airnya optimal, (b) volume fisik bendung rendah/biaya konstruksinya
murah, (c) daerah layanan irigasinya optimum. Pemilihan lokasi bendung
menjadi jawabannya.

Ketulusan dan harapan Sujiwo beserta
kelompoknya mengusik hati saya dan Lidon untuk merespon keinginannya
agar komunitasnya dapat mewujudkan obsesi besarnya. Hasil diskusi
menunjukkan bahwa Sujiwo dan kelompok taninya mengerti untuk apa air
yang ditampung dan bagaimana cara menggunakannya. Satu hal yang
mengagumkan dari penjelasan Sujiwo bahwa ada hal baru yang mereka
pahami berkaitan dengan peningkatan ketersediaan air dari sekadar
memenuhi kebutuhan air minum dan pertanian, tetapi lebih jauh dari itu,
adalah perubahan lebih baik dari nasib dan masa depan mereka serta
generasi selanjutnya.

Sejarah Panjang Lahan Kering Tadah Hujan

Lahan
kering Gunung Kidul yang diwakili DAS (Daerah Aliran Sungai) Bunder,
Kalurahan Patuk, secara geografis terletak kurang lebih 25 km sebelah
tenggara kota Yogyakarta (Gambar Lampiran 1). Wilayah ini awalnya
merupakan areal pertanian yang kurang produktif dengan penggunaan lahan
dominan tegalan yang ditanami ubi kayu, kacang tanah dan sebagian kecil
saja dapat ditanami padi terutama pada musim hujan. Produktivitas
pertanian wilayah ini sangat rendah dibandingkan sarana produksi dan
tenaga kerja yang diperlukan, resiko pertanian dan gagal panen yang
tinggi akibat kekeringan, karena ketersediaan air sangat terbatas
terutama pada musim kemarau (Tabel Lampiran 1). Daerah ini ditandai
dengan 5-6 bulan basah (curah hujan bulanan di atas 200 mm) yang
merupakan periode untuk budidaya tanaman padi. Sedangkan sisanya
merupakan bulan lembab dengan curah hujan bulanan antara 100-200 mm dan
bulan kering dengan curah hujan bulanan kurang dari 100 mm. Bulan
lembab dan kering merupakan periode budidaya pertanian tanaman semusim
dengan risiko tinggi dan sangat tinggi apabila tidak ada tambahan air
irigasi (suplementery irrigation). Lebih jauh, berdasarkan analisis
neraca air, yaitu air curah hujan dikurangi air yang hilang melalui
penguapan/ evapotranspirasi, aliran permukaan dan perkolasi, maka
sepanjang tahun hanya ada 3 (tiga) bulan untuk berccocok-tanam dengan
risiko kekeringan sangat rendah, sedangkan sisanya merupakan bulan
dengan risiko kekeringan tinggi (Gambar Lampiran 2). Itulah sebabnya
sebagian besar warga Gunung Kidul memilih merantau mengadu nasib ke
kota besar, karena sangat sulit menggantungkan masa depan mereka dari
lahan yang dimiliki.

Marginalisasi lahan kering terus terjadi
karena komoditas dominan yang diusahakan adalah singkong/ubi kayu yang
sangat rakus hara untuk membentuk umbinya. Pilihan menanam singkong
yang dilakukan petani secara terus-menerus bukannya tanpa alasan.
Paling tidak ada tiga alasan utama mengapa mereka terpaksa menanam
singkong; (1) kesuburan tanah yang rendah dan ketersediaan air yang
sangat terbatas, sehingga meskipun menyebabkan kurusnya tanah, singkong
merupakan pilihannya; (2) komoditas singkong tidak memerlukan tenaga
kerja yang banyak (less labor need), sehingga setelah singkong ditanam,
petani dapat merantau ke kota untuk mendapatkan penghasilan tambahan
dan kembali saat panen singkong tiba; (3) singkong merupakan makanan
pokok setelah beras, sehingga menanam singkong berarti menyediakan
cadangan pangan rumah-tangga. Penanaman singkong yang terus-menerus
tanpa peningkatan kesuburan tanah yang memadai dalam jangka panjang
akan menyebabkan produksi singkong di Gunung Kidul per satuan luas per
satuan waktu terus merosot, karena terjadi penurunan kesuburan tanah
(Gambar Lampiran 8). Pendapatan petani yang rendah ini menyebabkan
kemampuan untuk konservasi tanah dan air sangat terbatas. Jangankan
untuk memelihara lahan, untuk kebutuhan hidup mereka sehari haripun
sudah sangat sulit. Untuk meningkatkan ketersediaan air, pemerintah
mengembangkan program penghijauan yang dalam jangka panjang diharapkan
dapat meningkatkan ketersediaan air. Sedangkan untuk meningkatkan
pendapatan mereka, sebagian besar petani mencoba menanam jati, beternak
dan mengembangkan tanaman hortikultura tahunan sebagai
cadangan/tabungan jangka panjang. Varietas lokal, dengan teknologi
setempat (indigeneous knowledge) merupakan pilihannya, karena dengan
demikian mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Sayangnya,
karena desakan ekonomi, mereka terpaksa menebang jati muda untuk dijual
dengan harga yang relatif murah. Demikian juga ternaknya dijual saat
musim kemarau tiba, karena harga pakan ternak sangat mahal. Pada musim
kemarau masyarakat mengenal istilah “sapi makan sapi”, karena mereka
terpaksa menjual sapi untuk membeli pakan bagi sapi yang dipertahankan.
Saat puncak musim kemarau, petani umumnya juga menebang tanaman tahunan
untuk menyambung hidupnya. Itulah sebabnya mengapa rasio luas lahan
dengan tutupan vegetasi terhadap luas lahan total cenderung tetap,
bahkan pada periode tertentu justru menurun. Padahal alokasi dana,
tenaga dan waktu pemerintah dan masyarakat untuk penghijauan sudah
sangat tinggi. Hal tersebut secara umum menunjukkan lingkaran setan
persoalan yang dihadapi dalam pendayagunaan lahan kering, termasuk di
kabupaten Gunung Kidul.

Upaya perbaikan kondisi lahan kering
Gunung Kidul yang sangat marginal ini mendapatkan perhatian yang sangat
serius dari pemerintah pusat, propinsi, maupun pemerintah kabupaten
karena apabila kondisi ini tidak diatasi, maka urbanisasi ke kota besar
tidak dapat dibendung yang akan menciptakan sumber persoalan baru di
kota-kota besar. Tingginya perhatian pemerintah pusat dan propinsi
serta kabupaten terhadap pengembangan Gunung Kidul ditandai dengan
sangat banyaknya instansi terkait yang berpartisipasi dalam pembangunan
Gunung Kidul seperti: Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Dinas
Peternakan, Dinas Perkebunan dan dinas terkait lainnya baik di tingkat
Kabupaten, Propinsi maupun Nasional. Lembaga penelitian nasional,
internasional, termasuk Perguruan Tinggi juga terpanggil untuk membantu
mengembangkan lahan kering Gunung Kidul. Masing-masing sektor berupaya
mengembangkan proyek sesuai tugas pokok dan fungsi serta interes
sektoralnya. Kegiatan penelitian dan pengembangan lahan kering yang
dilakukan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan CIRAD Perancis merupakan
salah satu contohnya.


Kasus ini
ditulis oleh Gatot Irianto,Ph.D. dari Departemen Pertanian Indonesia di
bawah bimbingan Ahmad D.Habir,Ph.D, Dekan Fakultas Manajemen-Swiss
German University, sebagai bagian dari program Promoting Leadership for
Integrated Development yang didukung oleh Ford Foundation Indonesia.
Semua materi yang terkandung di dalam artikel ini dipersiapkan
semata-mata hanya untuk tujuan pembelajaran. Kasus ini tidak
dimaksudkan atau dirancang sebagai gambaran yang menunjukkan sebuah
praktek yang benar atau salah.

sumber:http://www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=72&Itemid=98
Kembali Ke Atas Go down
https://www.facebook.com/mahesatunggalika
 
Dari Tadah Hujan ke Irigasi Suplementer
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Perkuat Konservasi dan Irigasi, Dibangun 3 Embung Senilai 3 Miliar
» GLOBAL WARMING
» Hujan Hujan
» Mobil dan Musim Hujan
» Kena apa Belum turun hujan

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
FKOGK :: ALL ABOUT GUNUNGKIDUL :: Birokrasi & Government Watch-
Navigasi: