Pagi ini dengan cerahnya menyambutku dengan penuh semangat, serasa menghembuskan hawa semangatnya kepadaku untuk memulai aktivitasku yang sepertinya akan sangat panjang di hari ini. Akhir bulan Mei, tepatnya Sabtu pagi tanggal 30 Mei 2009, seperti biasa aku memulai aktivitasku di akhir minggu. Apa lagi selain siap-siap untuk pulang ke daerah asalku, Wonosari tercinta.
Program KKN PPL yang menuntut kami untuk bergerak lebih cepat agar semuanya lekas beres, menggerakkanku untuk melanjutkan usaha pencarian sponsor buat acara kami nanti. Seperti yang di amanahkan oleh salah seorang temanku agar sekaliyan mampir melobi sponsor untuk salah satu program KKN yang akan kami lakukan. Emmmm, dengan senang hati aku usahakan semua itu, toh semua demi kebaikan kelompok kita. Biasanya aku pulang agak siangan, tapi karena ada acara buat melobi sponsor ya mau tidak mau harus pulang lebih awal. Seperti biasa aku memacu motorku agar cepat sampai di tempat tujuan, hingga nanti cepat sampai di rumah. Akibat ga tau secara pasti tempatnya, ya harus muter-muter dulu buat nemuin salah satu kantor yang menangani masalah “lingkungan” di Wonosari itu. Tapi akhirnya setelah puter balik sampe beberapa kali, pukul 10.00 WIB sampe juga di tempat itu.
Langsung saja denga ramah dan senyum terbaikku, aku ungkapin tujuanku yang mewakili kelompok kami untuk menawarkan kerjasama dalam hal sponsorship untuk acara kami. Dan apakah kalian tau apa tanggapan mereka? Hehhh, sangat megecewakan. Setelah panjang lebar aku jelaskan program kita yang mungkin bisa di sokong lembaga tersebut, salah satu bapak”pejabat” yang menemuiku dengan enaknya menjawab “Kalau untuk membantu program KKN, kami tidak ada anggarannya mbak..!. Terus yang tidak mengenakkan lagi, “beliau” itu dengan seenakknya angkat telpon saat pembicaraan sedang berlangsung. Ya Allah, apakah demikian wajah-wajah orang atas yang seharusnya mengayomi kami sebagai rakyat-rakyatnya. Apakah tidak ada sedikit sikap menghargai kami, minimal dengan pelayanan yang tidak merendahkan sedikit saja. Apakah mereka menganggap diri mereka orang yang sangat penting, hingga dengan seenaknya menganggap orang lain begitu rendah di hadapannya. Fyuh, apakah mereka telah dibutakan dengan jabatan mereka yang sebenarnya hanya kepercayaan yang diamanahkan kepada mereka?
Begitulah sekitar 15 menit aku di kantor dinas pemerintah yang menangani masalah “lingkungan” di daerah Wonosari. Hehhh, begitu mengecewakan. Orang-orang yang seharusnya menjadi contoh tapi malah menunjukkan sikap yang yang begitu tidak pantas sama sekali untuk dicontoh. Tapi sudahlah, aku meninggalkan kantor itu dengan senyuman kecut yang mungkin sudah sering aku alami. Dipersulit oleh birokrasi di Negara yang masih merangkak, dengan segala keangkuhan dan kesombongannya.
Saatnya pulang ke rumah yang selalu menenangkanku, walau dengan keadaan yang serba apa adanya. Pukul 10.30 WIB akhirnya aku hirup udara yag senantiasa bisa menenangkanku itu. Sekalut apapun aku, ketika sampai di rumah rasanya semua beban terlepaskan. Apapun itu,,, Belum sempat aku ganti pakaian, baru saja aku selesai meneguk segelas air mineral, ada seseorang datang di pintu depan rumahnya.
Seorang bapak tua berumur sekitar 60an tahun dengan sopannya menyapaku dengan bahasa Indonesia campuran sedikit bahasa Jawa. Subhanallah, sopan sekali ditambah bapak itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku, serta merta untuk menghargainya aku sambut uluran tangan itu. Kau bisa menebak apa pekerjaan orang itu wahai sahabatku, “seorang pedagang keliling pintu ke pintu” yang menawarkan gambar benda-benda untuk belajar untuk anak-anak. Dengan sopannya ibarat penggusaha berkelas eksekutif, bapak itu menjelaskan kalau dia menawarkan lima set gambar yang biasanya digunakan untuk belajar anak-anak.
Bapak itu berkata, “Mbak, ini ada lima set gambar untuk anak-anak, mungkin bisa dibelikan untuk adiknya?”.
Dan aku langsung menjawab, “Maaf Pak, saya tidak punya adik kecil, sekali lagi maaf”.
Lalu bapak itu masih dengan senyum ramahnya, “oh, tidak punya adik ya…”. “Kalau tetangga sebelah itu punya anak kecil tidak mbak?”, Tanya bapak itu serta merta.
Aku jawab, “Ia Pak, tetangga sebelah ada anak kecil”. “Nyuwun ngapunten nggih Pak”, sekali lagi aku ucapkan permintaan maafku pada bapak itu karena tidak bisa membantunya. Padahal ingin sekali membantu bapak itu, tapi apa daya. Akhir minggu, uang saku sudah habis buat beli bensin tapi waktu pulang.
Masih dengan sopannya bapak itu menjawab, “Tidak apa-apa mbak, malah saya yang minta maaf sudah mengganggu waktu mbak”. Setelah itu bapak itu beranjak ke rumah tetangga sebelahku, dengan sikap seperti awak bertemu, bapak itu menjabat tanganku lagi.
Sekilas aku perhatikan bapak itu saat meninggalkan rumahku. Seseorang dengan penampilan yang sangat sederhana sekali,ya sangat sederhana bahkan aku lihat tambalan sana-sini di pakaiannya. Sangat bertoalak belakang dengan sikapnya yang bias aku katakana setingkat pejabat yang penuh sopan santun. Seorang yang berjuang demi sesuap nasi untuk keluarganya masih dengan teguh mempertahankan idealismenya untuk tetap menghargai orang lain. Apapun keadaannya. Sugguh aku sangat menghargainya.
Sungguh hari ini, 30 Mei 2009 aku banyak belajar banyak dari orang-orang yang aku temui. Di awal aku temui orang yang begitu angkuhnya memperlakukan orang lain, padahal saat itu dia juga sedang melaksanakan tugasnya yang tidak lain adalah pekerjaannya. Dan suatu hal yang sangat bertolak belakang ketika dalam waktu kurang dari satu jam aku temui orang yang berbeda 180 derajat. Seorang yang dalam posisi terdesak kadang malah menghargai orang-orang disekitarnya karena semua itu mungkin sebagai rasa syukur yang tak terhingga pada yang Maha Kuasa atas limpahan kasih sayang yang Dia berikan, hingga dia juga merasa berkewajiban untuk menyebarkan kasih sayang yang dia dapat itu pada orang-orang di sekitarnya, dengan jalan bersikap ramah dan menghargai mereka tentunya. Daripada orang-orang atas yang sering lupa akan hakekat mereka yang sebenarnya sama dengan orang-orang disekitarnya, tapi sayangnya mereka cenderung dibutakan oleh kedudukan mereka hingga tidak ada yang nampak selain perlakuan dan sikap yang sama sekali tidak pantas untuk dicontoh.
Seperti apa yang pernah aku baca pada sebuah artikel inspiratif berjudul “The Spirit of Suket”, sekilas penggalannya seperti ini:
“Suket” alias rumput adalah perlambang kesabaran. Dengan hakikatnya yang selalu di bawah dan dianggap tanaman liar, ia harus tetap teguh menyambut embun di pagi hari. Ia harus tetap tabah menerima hangat matahari. Dan, ia juga harus tetap pasrah, meski tubuhya diinjaki oleh makhluk atau benda di atasnya. Ia tidak mempedulikan kehadiran anggrek yang berbinar-binar di sekitarnya, karena ia percaya bahwa anggrek tetaplah anggrek. Hakekatnya adalah tanaman benalu. Ia juga tidak mempedulikan kehadiran pohon jati. Karen kodrat membentuknya jadi pohon yanga perkasa. Kesederhanaan raga “Suket” membuatnya harus sadar bahwa ia memang di bawak keperkasaan pohon jati. Dan buah kesabaran itu adalah rasa syukur yang tak terhingga atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya. “Suket merasa bersyukur karena dengan keterbatasannya ia masih mendapatkan belaian embun dan hangat matahari pagi”.
(sungguh sebuah artikel yang inspiratif sekali)
# By: Rhey_@hidup ini indah #
[justify]