Semar bertubuh tambun: melukiskan keluasan hatinya. Ati segara,
begitu kata orang Jawa: hati bagai samudera. Makin luas hatinya berarti makin
halus pula rasa-nya. Dalam literatur Jawa, rasa adalah inti terdalam manusia,
kebenaran tertinggi. Makin halus rasanya, berarti makin dekat orang itu pada
inti kebenaran, makin tinggi tingkat spiritual-nya. Dan makin halus rasa
seseorang, dia akan menjadi makin momot, makin luas ruang hatinya, sehingga
bagai samudera yang bisa menampung ribuan sungai yang mengalir kepadanya tanpa
menjadi penuh maupun kotor.
Sebaliknya makin kasar rasa seseorang, makin
rendah tingkat spiritual-nya, makin kaku sikapnya, dan makin sulit menerima
pandangan yang berbeda, tidak bisa hidup tenteram dengan kelompok lain, mau
menang sendiri... dan ugal-ugalan. Lebih celaka lagi, dengan mengatas-namakan
agama dan Tuhan!
Lao Tse mengajarkan: bahwa orang yang benar-benar bijak
akan rendah hati dan tidak berdebat dengan siapapun. Semar adalah Dewa
tertinggi, tapi dia mengambil rupa sebagai seorang hamba, seorang abdi yang
dengan setia mengabdi pada para ksatria pilihan: Pandhawa Lima. Semar tidak
pernah menginginkan jabatan tinggi bagi dirinya sendiri. Misinya murni: untuk
menjaga harmoni semesta raya. Ia tak ubahnya seperti Chuang Tzu yang menolak
dijadikan perdana menteri dan berkata: kura-kura yang hidup dalam lumpur jauh
lebih baik daripada kura-kura yang diawetkan dengan air keras dan tinggal di
istana raja.
Salam,
www.catatanrenungan .blogspot. com